Wednesday, April 23, 2008

Jangan Cekik Intelektualitas Dengan Mahalnya Harga Buku

Beberapa waktu lalu, gue iseng-iseng jalan ke Gramedia. Sekalian cuci mata dan lumayan buat refreshing pikiran yang butek gara-gara urusan kuliah yang semakin lama semakin menggila dan menyita perhatian gue.

Tetapi, ketika gue kesana, bukan rasa senang yang gue dapet. Tapi malah miris. Miris ngelihat harga buku (baik itu buku fiksi, nonfiksi, dan buku pelajaran) yang semakin naik dari waktu ke waktu.

Ketika gue ngelihat keadaan dompet gue, gue masih bisa narik nafas lega karena gue masih punya selembar uang Rp 50.000,- yang bisa gue tuker dengan satu buku novel fiksi, dan gue masih punya duit kembalian sebesar Rp 5000,- buat ongkos pulang.

Dan ketika gue maen ke bagian buku buat anak sekolah, gue makin kaget ketika ngelihat harga buku pelajaran, yang kertasnya pun dari kertas biasa, bukan kertas HVS, di banderol harga hampir Rp 50.000,- juga.

Tapi setibanya gue di rumah, gue jadi mikir, sambil ngeliatin buku yang baru aja gue beli. Dan inilah hasil pemikiran gue itu.

MAHAAAALLLNYAAA!!!! Gila, mahal banget ya buku sekarang?! Rp 50.000,- ?? bisa buat duit makan gue di warteg dengan menu ala kadarnya nih.. bisa buat sepuluh kali makan pula.

Dan karena hal itu, kecintaan gue terhadap buku-buku bajakan yang biasa di jual di Palasari dan kawasan Kwitang di Jakarta semakin tumbuh subur. Kenapa? Bukan gue setuju sama yang namanya pembajakan buku ya, tetapi ya karena alasan ‘buku semakin mahal’ itulah yang membuat gue mau gak mau mesti senang dan setuju-setuju aja sama yang namanya buku bajakan.

Biarpun isinya cuman fotokopian, tetapi buat gue yang penting gue dapet isi dari bukunya, dan ilmunya bisa gue serap.

Dan bicara mengenai pembajakan buku, sayangnya kita masih ketinggalan sama India dan negara-negara lain yang sudah menerapkan program buku murah atau yang biasa di sebut dengan low-price edition book, untuk menekan angka pembajakan buku di negara mereka.

Sementara mereka udah lama menjalankan program tersebut, negara kita masih aja menggodok wacana (baca: baru sekedar wacana) program tersebut di gedung kehormatan sana. FYI, baru sekedar wacana aja, udah banyak menimbulkan pro dan kontra. --“

Namanya low-price edition, ya pasti di jual lebih murah dari buku yang standard edition. Tapi, buku itu asli, bukan bajakan. Karena penerbitnya juga yang mengeluarkan buku yang low-price edition. Bukan di keluarkan sama orang lain.

Isinya pun sama seperti buku yang standard edition, cuma beda di material bukunya aja. Kalo yang standard edition, kertas yang dipakai mungkin dari kertas yang bermutu menengah keatas, sementara kertas yang di pakai buat buku yang low-price edition, kertas yang di pake adalah kertas buram. Kalo kover yang standard edition, mungkin hasil print-out gambarnya lebih bagus, dan buat yang low-price edition, hasil print outnya rada pucat, dan sebagainya.

Tapi ya balik lagi, kalo buat gue, buku itu yang penting isinya, bukan dilihat dari kertas macem apa yang di pake, atau bagaimana hasil print-out kover depannya.

Well, gue rasa cara itu efektif banget deh, kalo buku murah, bukan gak mungkin kan? Kalo dunia pendidikan di Indonesia bakalan maju pesat karena murid-muridnya pasti bisa beli buku semua. Dan para guru juga pasti bakalan lebih pinter, karena mereka juga bisa membeli buku untuk menunjang profesi mereka.

Jadi, kalo emang nanti (entah kapan) pemerintah bisa mewujudkan program buku murah, gue bakal angkat topi buat mereka, kenapa? kalo semua orang bisa dengan mudah mendapatkan akses untuk membaca buku, bukan gak mungkin kalo nanti banyak muncul B.J. Habibie muda, dan Indonesia tidak lagi menjadi bangsa yang tercekik kemampuan intelektualitasnya karena mahalnya harga buku.

Sampe jumpa di postingan gue selanjutnya..

No comments: